Articles

Menyemai Pangan Kota dari Ampas Kopi: Inisiatif Hijau Skala Mikro

Pernah terpikir nggak, sisa kopi yang kamu minum hari ini bisa jadi selada yang kamu makan besok? 🥬✨ Ampas kopi ternyata menyimpan potensi besar, dari media jamur tiram, pupuk cair, hingga sayuran hidroponik di tengah kota. Gerakan kecil ini bisa jadi bagian besar perubahan menuju kota lebih hijau lho! Yuk, simak kisah lengkapnya di artikel berikut.

Di tengah hiruk-pikuk kota besar, coffee shop selalu menjadi salah satu pusat aktivitas warga urban. Dengan gaya hidup cepat dan dinamis, wajar jika setiap harinya ribuan cangkir latte atau espresso dinikmati oleh para pelanggannya. Sayangnya, di balik aroma yang menggoda dan kehangatan suasana itu, tersimpan satu fakta yang kurang menggembirakan: ampas kopi yang dihasilkan hampir selalu berakhir di tempat pembuangan sampah. Padahal, secara kimia, sisa bubuk kopi ini masih mengandung karbon, nitrogen, selulosa, dan lignoselulosa, unsur penting dalam pertumbuhan tanaman.


Melalui rekayasa sederhana, ampas kopi dapat dimanfaatkan sebagai media tanam jamur tiram, difermentasi menjadi pupuk cair, lalu menyuburkan sawi, selada, pakcoy, dan tanaman hidroponik lain di balkon kos, halaman sempit perkotaan atau atap gedung-gedung kota. Rantai pendek seperti ini bukan hanya menekan timbunan sampah organik, tetapi juga membuka peluang kerja yang ramah lingkungan. Menjadi petani urban kini bukan lagi sekadar profesi, melainkan bagian dari upaya kolektif untuk merawat bumi sekaligus menciptakan penghidupan yang lebih berkelanjutan.


Data dari USDA Foreign Agricultural Service menunjukkan bahwa Indonesia mengonsumsi sekitar 4,77 juta karung kopi berkapasitas 60 kilogram pada tahun 2023/2024. Dengan asumsi 70% massa kopi berubah menjadi ampas setelah diseduh, artinya lebih dari 200 ribu ton limbah organik dihasilkan setiap tahun. Jumlah ini tentu bukan angka kecil, apalagi bila kita menyadari bahwa sebagian besar dari limbah tersebut langsung masuk ke tempat pembuangan tanpa pemanfaatan lanjutan. Padahal, kandungan nitrogen dan lignoselulosa dalam ampas ini menyimpan potensi besar untuk mendukung pertanian mikro di wilayah perkotaan.


Pemanfaatan ampas kopi untuk menumbuhkan jamur tiram merupakan langkah awal yang sangat menjanjikan. Jamur tiram merupakan salah satu komoditas pertanian yang tidak membutuhkan lahan luas dan bisa dibudidayakan di ruang sempit dengan peralatan sederhana. Ampas kopi yang masih segar dapat langsung dimanfaatkan sebagai media tanam. Dengan teknik inokulasi bibit jamur ke dalam media ampas kopi yang sudah dipasteurisasi dan disimpan dalam kantong plastik atau ember tertutup, miselium jamur akan tumbuh secara cepat. Dalam waktu kurang dari satu bulan, jamur sudah bisa dipanen dan dikonsumsi. Prosesnya sederhana, hemat ruang, serta tidak memerlukan biaya besar.


Yang menarik, media tanam bekas budidaya jamur tersebut tidak perlu langsung dibuang. Ia bisa diolah kembali menjadi pupuk organik cair (POC) melalui proses fermentasi. Fermentasi ini dapat dilakukan dengan menambahkan bahan seperti gula merah atau molase, serta mikroorganisme pengurai. Setelah didiamkan selama dua minggu, larutan yang dihasilkan mengandung unsur hara makro dan mikro yang sangat baik untuk menyuburkan tanaman. Pupuk cair ini bisa langsung digunakan untuk hidroponik atau sistem vertikultur yang kini mulai banyak diterapkan di balkon rumah, halaman kos, hingga atap gedung-gedung kota.

Satu alur pendek telah terbentuk: ampas kopi → jamur → pupuk cair → sayuran kota. Sistem ini tidak hanya memanfaatkan limbah, tetapi juga menghidupkan ruang-ruang sempit yang selama ini terabaikan. Di balkon rumah atau sisi-sisi tembok apartemen, sayuran segar dapat tumbuh dari sistem vertikal dengan bantuan nutrisi dari sisa kopi yang dulunya dibuang. Ini adalah bentuk nyata dari ekonomi sirkular skala mikro yang bisa diterapkan oleh siapa saja, bahkan tanpa latar belakang pertanian.


Lebih lanjut, peran petani urban kini semakin penting dalam menciptakan siklus pangan mandiri di kota. Mereka bekerja sama langsung dengan coffee shop dalam pengambilan rutin ampas kopi setiap minggu. Ampas tersebut diolah menjadi media tanam jamur tiram, yang hasil panennya kemudian dijual untuk mendapatkan penghasilan. Media bekas jamur tidak dibuang begitu saja, melainkan diformulasikan kembali menjadi POC, pupuk cair ramah lingkungan yang digunakan untuk menyuburkan kebun hidroponik milik mereka sendiri atau bisa juga dijual kembali.


Menariknya, hasil kebun tersebut seperti selada, pakcoy, hingga microgreens bisa kembali disalurkan ke coffee shop sebagai bahan menu organik. Dari sinilah potensi kerja sama dua arah bisa lebih dikembangkan. Bayangkan bila setiap coffee shop memiliki menu khusus “urban harvest salad” atau “kopi + selada lokal” yang semua bahannya bersumber dari hasil kolaborasi dengan petani urban. Ini bukan hanya membuat produk lebih sehat dan lokal, tetapi juga memperkuat ekosistem bisnis yang berkelanjutan dan saling menghidupi.


Sebagai tambahan, konsep Kartu Loyalti Hijau bisa menjadi penguat gerakan ini. Setiap pelanggan yang membawa tumbler sendiri, menyumbangkan ampas kopi rumahnya, atau ikut memilah sampah saat berkunjung, akan mendapat cap khusus. Lima cap bisa ditukar dengan hadiah kecil seperti microgreens, diskon menu organik, atau salad segar hasil urban farming.


Lebih menariknya, setiap kali pelanggan membeli kopi, tanpa sadar mereka juga telah “menyumbang” bahan baku untuk pupuk organik cair. Maka, sebagai bagian dari program keberlanjutan, coffee shop bisa memberikan satu botol kecil pupuk organik cair gratis setiap pembelian kopi. Tak hanya itu, pelanggan juga bisa ikut dalam program adopsi pot sayur: satu pot kecil berisi tanaman hidroponik akan diberi nama sesuai pelanggan dan dirawat bersama oleh petani urban yang bekerja sama dengan coffee shop. Ketika sayur itu tumbuh, pelanggan bisa melihat progresnya lewat media sosial atau bahkan datang melihat langsung ke kebun vertikal mini di area coffee shop. Dengan pendekatan ini, konsumen tidak hanya jadi pembeli pasif, tapi ikut merawat kehidupan baru dari sisa kopinya sendiri dan itu jadi pengalaman yang jauh lebih bermakna.


Menurut data dari Kementerian Perdagangan, pada tahun 2022 terdapat lebih dari 100.000 coffee shop di Indonesia dan jumlah ini terus bertambah. Bila sebagian kecil saja dari tempat ini bermitra dengan petani urban, dampak ekologis dan ekonominya bisa sangat besar. Apalagi, permintaan terhadap produk organik sendiri mengalami pertumbuhan 15–20% per tahun, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta.


Ini artinya, peluang kerja ramah lingkungan semakin terbuka bukan hanya untuk petani urban, tapi juga pelaku logistik, pengolah limbah, pembuat pupuk, hingga pelatih komunitas. Urban farming dengan dukungan limbah kopi sangat potensial menjadi sistem pangan alternatif yang relevan dengan gaya hidup perkotaan.

Selain berdampak pada lingkungan dan ekonomi, pendekatan ini juga membawa nilai edukatif yang tinggi. Sayangnya, kesadaran masyarakat, terutama anak-anak, terhadap pentingnya pengelolaan limbah organik masih sangat minim. Padahal, kegiatan sederhana seperti mengolah sisa kopi menjadi media tanam jamur di ember dan menjadi POC kemudian tanaman hidroponik bisa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dasar sebagai bentuk keterampilan hidup dan pembelajaran sains terapan. Anak-anak bisa memahami siklus makanan secara langsung: dari limbah, tumbuh kembali, dan akhirnya kembali ke bekal sekolah mereka. Pembelajaran ini bukan hanya membuat mereka lebih peduli terhadap lingkungan, tetapi juga melatih rasa tanggung jawab terhadap konsumsi sehari-hari.


Bukan hanya anak-anak, banyak ibu rumah tangga pun belum mengetahui bahwa sisa kopi di rumah mereka bisa diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Kampanye kecil di tingkat RT atau RW bisa dijadikan ruang edukasi dan praktik langsung. Bayangkan sebuah dapur kecil dengan botol POC buatan sendiri dan selada segar tumbuh di rak vertikal yang hanya bermodal ember bekas dan sisa kopi. Ini bukan sekadar tentang berkebun, tapi tentang merancang masa depan yang lebih hijau dari ruang paling personal: rumah.


Kolaborasi menjadi kunci penting untuk memperkuat inisiatif ini. Jika coffee shop lokal mau bekerja sama dengan komunitas pertanian kota, pengelolaan ampas kopi bisa menjadi lebih sistematis dan berkelanjutan. Daripada dibuang, ampas kopi bisa dikumpulkan secara rutin dan dikirim ke titik-titik budidaya jamur atau pusat fermentasi komunitas. Selain menekan jumlah limbah yang masuk ke tempat pembuangan akhir, kerja sama semacam ini juga bisa menumbuhkan ekonomi baru berbasis lingkungan. Produk yang dihasilkan, baik berupa jamur segar, sayuran hidroponik, atau pupuk cair, dapat dipasarkan kembali ke warga kota atau bahkan dijual kembali ke coffee shop sebagai bentuk ekosistem tertutup yang menguntungkan kedua belah pihak.


Lebih jauh, praktik ini juga berpotensi menjadi model pembelajaran dan inovasi di berbagai bidang. Institusi pendidikan bisa menjadikannya bagian dari kurikulum kewirausahaan lingkungan atau kegiatan ekstrakurikuler berbasis praktik langsung. Pemerintah daerah juga dapat mendukung dengan menyediakan insentif bagi usaha mikro yang bergerak di bidang pemanfaatan limbah organik. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan bisa berperan dalam pelatihan teknis serta advokasi kebijakan yang mendukung ekosistem hijau di kota-kota besar.


Praktik ini mungkin terlihat kecil di permukaan, namun dampaknya bisa sangat besar bila dijalankan secara kolektif. Ketika satu rumah, satu kos, atau satu RT mulai mengelola ampas kopi menjadi media tanam dan pupuk, dampaknya bisa berlipat ganda. Tak hanya membantu mengurangi sampah organik, tapi juga mengajarkan masyarakat untuk lebih sadar terhadap siklus hidup bahan makanan. Pada akhirnya, yang diciptakan bukan hanya pangan dan pendapatan, melainkan pola pikir baru: bahwa keberlanjutan bisa dimulai dari rumah sendiri.


Tentu, setiap gerakan memiliki tantangannya. Mulai dari kurangnya pemahaman teknis, keterbatasan alat, hingga kendala distribusi bahan. Namun semua ini bukan hambatan yang tak bisa diatasi. Dengan edukasi yang terus menerus, pelatihan, dan dokumentasi keberhasilan, masyarakat akan semakin percaya dan terdorong untuk ikut terlibat. Bahkan institusi pendidikan, LSM lingkungan, atau pemerintah daerah bisa ikut mendukung dengan membuat program pelatihan, insentif, atau menyediakan sarana pendukung. Pelibatan banyak pihak juga akan membantu dalam membangun sistem pendataan, pemantauan hasil, dan pengembangan jaringan antar komunitas agar lebih terorganisir dan berdaya saing.


Mungkin memang tak semua orang bisa langsung bercocok tanam, apalagi di tengah padatnya jadwal dan sempitnya ruang kota. Namun, dengan dukungan komunitas, pelatihan ringan, serta media sosial sebagai alat berbagi cerita, proses ini bisa jadi lebih ringan dan menyenangkan. Kita bisa saling belajar dari rumah ke rumah, dari balkon ke balkon. Bayangkan jika gerakan kecil ini menjadi kebiasaan nasional bukan hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga membangun solidaritas antarwarga kota. Karena sejatinya, gerakan ini bukan hanya soal pupuk atau panen sayuran, tapi tentang harapan, keberanian, dan kehidupan yang lebih peduli pada bumi.


Pada akhirnya, cerita ini bukan hanya tentang ampas kopi. Ini adalah tentang melihat ulang apa yang biasa kita anggap tak berguna. Tentang memberi kesempatan kedua pada sesuatu yang sudah selesai dipakai. Dan lebih dalam lagi, ini adalah ajakan untuk memulai sistem pangan kota yang lebih inklusif, berkeadilan, dan tidak bergantung pada sistem industri besar. Karena sesungguhnya, dari sisa yang tak terlihat, tumbuh harapan baru yang bisa kita rawat bersama.


Jika sisa kopi dapat beralih rupa menjadi pangan dan penghidupan, maka tak ada satu pun limbah yang benar-benar sia-sia. Di balik gelas terakhir yang kita nikmati hari ini, mungkin ada setangkai sawi yang tumbuh esok hari.


Dari sana, kita belajar bahwa keberlanjutan bukan melulu soal teknologi tinggi, melainkan keberanian untuk mengubah cara pandang, dimulai dari yang paling sederhana: sisa secangkir kopi


Penulis: Erin Armaida


Daftar Pustaka:


  1. Efrianto Palayukan, H., Kembong, R., Padang, M., Sidang Patasik, R., La’lang Limbongan, Y., Marano Pata’dungan, A., Tandirerung, W. Y., Kannapadang, S., dan Lempang, P. 2025. Pemanfaatan ampas kopi sebagai media tanam dalam produksi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Informasi, Sains dan Teknologi, 8(1): 115–127.
  2. Hartari, W. R., Same, M., Rahmawati, D., dan Kusumastuty, A. 2024. Pengaruh limbah ampas kopi sebagai pupuk organik cair (POC) pada pertumbuhan bibit kopi robusta propelegitim BP 42 × BP 358 di main nursery. Jurnal Agrotropika, 23(2): 321–330.
  3. Johnson, K., dkk. 2022. A review of recent advances in spent coffee grounds upcycle technologies and practices. Frontiers in Chemical Engineering, 4: Artikel 838605. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fceng.2022.838605.
  4. Joy, S. K. dan Tjiptodjojo, K. I. 2024. Pengaruh online customer review dan rating terhadap keputusan pembelian yang dimediasi dengan kepercayaan. Ekonomi, Keuangan, Investasi dan Syariah (EKUITAS), 6(2): 76–83. https://doi.org/10.47065/ekuitas.v6i2.6241.
  5. Putra, R. A., Sembiring, A. K., Anggraini, D. E., Sitanggang, L. B., Amar, M. R., Sihombing, P. R., dan Susilawati, S. 2021. Addition of liquid organic fertilizer from coffee grounds as nutrients in a hydroponic system on the growth of lettuce (Lactuca sativa L). Dalam Herlinda, S. dkk (Ed.), Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal ke-9 Tahun 2021, Palembang, 20 Oktober 2021. Hal. 891–899. Palembang: Penerbit & Percetakan Universitas Sriwijaya (UNSRI).
  6. Trubus. 2023, 20 Mei. Pangan organik kian diminati. Trubus.id. https://trubus.id/pangan-organik-kian-diminati/.
  7. USDA Foreign Agricultural Service. 2023. Indonesia: Coffee semi-annual (GAIN Report ID2023-0026). https://fas.usda.gov/data/indonesia-coffee-semi-annual-8.