Articles

Dampak Lingkungan dari Penciptaan Green Jobs: Katalis Perbaikan Lingkungan atau Sumber Dampak Baru?

Apakah semua pekerjaan hijau benar-benar “hijau”? Istilah green jobs semakin populer dan dianggap sebagai solusi masa depan yang menggabungkan perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, benarkah semua sektor yang disebut ramah lingkungan tidak meninggalkan jejak ekologis baru? Artikel ini mengajak kamu memahami peluang, manfaat, sekaligus tantangan tersembunyi di balik pekerjaan hijau, dari energi terbarukan hingga pengelolaan limbah. Cocok untuk kamu yang kritis, peduli lingkungan, dan ingin melihat transisi ekonomi hijau secara utuh.

Istilah “pekerjaan hijau” kini makin sering kita dengar, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan krisis iklim dan kebutuhan mendesak akan solusi yang lebih berkelanjutan. Konsep ini menjanjikan sesuatu yang besar yaitu menjadi motor ekonomi hijau sekaligus jalan keluar dari berbagai masalah lingkungan.

Pekerjaan hijau meliputi banyak bidang, mulai dari pengelolaan limbah, pemasangan panel surya, hingga restorasi hutan. Sekilas, pekerjaan ini tampak sebagai jawaban untuk dua kebutuhan penting yaitu menjaga kelestarian lingkungan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik citra positif tersebut, muncul pertanyaan yang tak kalah penting, apakah semua pekerjaan hijau benar-benar ramah lingkungan? Ataukah justru, jika tidak dikelola dengan bijak, ia berpotensi melahirkan masalah ekologi baru?


Seiring meningkatnya urgensi transisi menuju ekonomi berkelanjutan, diskusi tentang pekerjaan hijau kian menonjol. Berbagai lapangan kerja baru muncul dari kebutuhan untuk menekan emisi gas rumah kaca, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan mengelola sumber daya alam secara lebih bijak.

Secara sederhana, pekerjaan hijau adalah jenis pekerjaan yang mendukung upaya pemulihan atau pelestarian lingkungan. Bidang ini mencakup beragam inisiatif, mulai dari konservasi keanekaragaman hayati, efisiensi energi, pengurangan emisi, hingga penanganan limbah dan polusi.


Jenisnya pun beragam. Ada yang bergerak di pengelolaan sampah dan daur ulang (misalnya operator fasilitas daur ulang atau spesialis limbah berbahaya), efisiensi energi (auditor energi, konsultan bangunan hijau), energi terbarukan (teknisi panel surya dan turbin angin), hingga konservasi alam (peneliti lingkungan, penjaga taman nasional, ahli ekosistem). Selain berperan penting bagi lingkungan, pekerjaan ini juga diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih adil dan berwawasan masa depan.


Pertumbuhan sektor pekerjaan hijau jelas sangat relevan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Banyak di antaranya langsung memberi manfaat nyata bagi ekosistem. Di Indonesia, sektor energi terbarukan seperti tenaga angin dan surya mulai berkembang. Kehadirannya membuka peluang kerja baru sekaligus membantu menekan emisi karbon (Suryadi & Nugroho, 2021). Selain itu, penggunaan energi bersih secara perlahan memperbaiki kualitas udara yang kita hirup setiap hari.


Industri efisiensi energi juga menawarkan kontribusi besar. Misalnya, auditor energi dapat membantu perusahaan menemukan titik boros energi sekaligus memberikan solusi penghematan. Selain itu, permintaan akan desainer bangunan hijau terus meningkat. Mereka berperan penting memastikan bangunan baru hemat energi dengan memanfaatkan pencahayaan alami dan sistem ventilasi yang baik. Jika dikelola serius, langkah ini bisa mengurangi beban pembangkit listrik yang masih didominasi bahan bakar fosil di Indonesia (KESDM, 2023).


Tak hanya itu, sektor kehutanan dan pertanian berkelanjutan juga punya dampak nyata. Petani yang menerapkan sistem organik menjaga kesuburan tanah dan kualitas air, sekaligus mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk kimia berbahaya (Balitbang Pertanian, 2019). Di sisi lain, pengelolaan hutan berkelanjutan berperan menjaga hutan tetap sehat sebagai penyerap karbon sekaligus habitat satwa. Dengan begitu, pekerjaan di sektor hijau menjadi tulang punggung dalam membangun masa depan yang lebih bersih dan sehat.


Namun, tidak semua aspek pekerjaan hijau sepenuhnya bebas masalah. Produksi teknologi hijau sendiri kadang menyisakan jejak lingkungan. Contohnya, penambangan nikel yang digunakan untuk membuat baterai kendaraan listrik. Jika tidak diawasi dengan standar ketat, kegiatan ini dapat menimbulkan pencemaran air dan degradasi lahan (KLHK, 2022).


Hal serupa berlaku untuk pembangunan infrastruktur energi terbarukan skala besar. Pembangkit listrik tenaga surya atau angin memang menghasilkan energi bersih, tetapi jika tidak direncanakan secara matang, bisa mengganggu ekosistem lokal, merusak habitat satwa, bahkan mengorbankan lahan produktif atau kawasan konservasi.


Dari sisi daur hidup produk, terdapat juga tantangan tersendiri. Meskipun panel surya berumur panjang, suatu saat akan menjadi limbah. Jika tidak dikelola dengan baik, kandungan bahan berbahayanya bisa merusak lingkungan. Begitu juga dengan baterai kendaraan listrik yang membutuhkan sistem daur ulang aman agar logam beratnya tidak mencemari tanah dan air. Sayangnya, infrastruktur daur ulang di Indonesia masih terbatas (Pusat Penelitian Perubahan Iklim, 2020).


Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang digerakkan pekerjaan hijau perlu diawasi dengan cermat. Jika perluasan sektor ini tidak disertai dengan kebijakan efisiensi sumber daya, justru bisa memicu peningkatan konsumsi energi dan material. Misalnya, jika pembangunan infrastruktur energi terbarukan membutuhkan bahan bangunan berintensitas karbon tinggi, yang di mana manfaat lingkungannya bisa berkurang.


Oleh karena itu, penilaian siklus hidup (life cycle assessment) terhadap setiap teknologi dan praktik ramah lingkungan menjadi suatu hal yang penting. Tanpa itu, kita bisa saja hanya mengganti satu masalah lingkungan dengan masalah lainnya (LIPI, 2018).


Dengan demikian, pekerjaan hijau memang berpotensi besar menjadi katalis perbaikan lingkungan. Namun, kita juga membutuhkan analisis siklus hidup yang menyeluruh, regulasi kuat tentang daur ulang, perencanaan penggunaan lahan yang bijak, serta kesadaran publik yang terus meningkat. Dari cara-cara tersebut, pekerjaan hijau bukan sekadar menciptakan dampak baru, melainkan juga bisa menjadi solusi.


Penulis: Lita Tania


Daftar Pustaka


  1. Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2022. Badan Pusat Statistik.
  2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2019). Inovasi Teknologi Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian.
  3. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi. (2023). Rencana Pengembangan Energi Terbarukan Nasional. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
  4. Hanafiah, A. R., & Wibowo, A. (2021). Analisis Dampak Lingkungan dari Pemanfaatan Energi Surya di Indonesia. Jurnal Lingkungan Energi, 5(2), 112-125.
  5. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Laporan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  6. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2023). Kebijakan Pengelolaan Sampah Nasional. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  7. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2018). Strategi Nasional Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Sains. LIPI Press.
  8. Maharani, D., & Wibowo, B. (2022). Potensi Dampak Pertambangan Nikel untuk Baterai Kendaraan Listrik terhadap Lingkungan di Sulawesi Tenggara. Jurnal Ekonomi Lingkungan, 8(1), 45-59.
  9. Sari, L. K., & Prasetyo, H. (2023). Peran Pekerjaan Hijau dalam Mitigasi Perubahan Iklim: Studi Kasus di Sektor Energi Terbarukan Indonesia. Jurnal Sains Lingkungan, 10(1), 30-42.
  10. Suryadi, A., & Nugroho, R. (2021). Pengembangan Sektor Energi Terbarukan dan Penciptaan Lapangan Kerja Hijau di Indonesia. Jurnal Kebijakan Publik, 18(3), 210-225.
  11. Widodo, B. (2020). Analisis Kebijakan Pengelolaan Sampah Elektronik di Indonesia. Jurnal Pengelolaan Limbah, 6(2), 88-101.