Articles

Green Jobs Dalam Kedokteran Gigi: Strategi Pengelolaan Jejak Karbon Dan Implementasi Kebijakan

Jejak karbon dalam kedokteran gigi tidak hanya datang dari limbah medis, tetapi juga dari plastik sekali pakai, konsumsi energi, dan penggunaan air yang berlebihan. Transisi menuju praktik green dentistry tidak cukup diserahkan pada kesadaran individu. Diperlukan regulasi yang berpihak, standar klinik yang berkelanjutan, insentif untuk inovasi, serta integrasi isu lingkungan dalam pendidikan kedokteran gigi. Telusuri lebih jauh bagaimana sektor ini bisa berkontribusi pada target iklim nasional melalui kebijakan yang tepat dan praktik yang nyata.

Jejak karbon pada praktik kedokteran gigi muncul dari berbagai aktivitas, seperti penggunaan energi, air, bahan habis pakai, hingga limbah medis yang dihasilkan. Akumulasi emisi tersebut menuntut adanya regulasi yang terarah untuk mendorong penerapan green dentistry. Regulasi dapat berupa penetapan standar klinik gigi ramah lingkungan, kewajiban audit jejak karbon, serta pengelolaan limbah medis yang sesuai prinsip keberlanjutan. Selain itu, insentif fiskal dan dukungan kebijakan jangka panjang, termasuk integrasi isu keberlanjutan dalam kurikulum pendidikan kedokteran gigi, berperan penting dalam memperkuat implementasi. Dengan adanya roadmap menuju net zero healthcare, regulasi jejak karbon di bidang kedokteran gigi diharapkan dapat menjadi kontribusi nyata sektor kesehatan dalam menjaga keseimbangan antara kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.


Kesehatan gigi dan mulut merupakan aspek penting dalam menjaga kualitas hidup yang baik. Namun, di balik praktik kebersihan gigi yang umum dilakukan sehari-hari, terdapat tantangan besar yang sering kali terabaikan, seperti limbah plastik dari peralatan kebersihan gigi dan pemborosan air dalam praktik kedokteran gigi yang pada muaranya akan meningkatkan jejak karbon yang sangat membahayakan lingkungan dan perubahan iklim. Penggunaan sikat gigi plastik sekali pakai, kemasan pasta gigi yang sulit didaur ulang, serta produk perawatan gigi berbasis bahan kimia yang berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan menjadi permasalahan yang membutuhkan solusi inovatif dan berkelanjutan. Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan pendekatan baru yang tidak hanya efektif dalam meningkatkan kesehatan gigi, tetapi juga ramah lingkungan dan mudah diadopsi oleh masyarakat luas.


Permasalahan jejak karbon pada bidang kedokteran gigi sangatlah beragam, mulai dari permasalahan sampah hingga penggunaan barang medis tidak ramah lingkungan yang meningkatkan laju karbonasi di alam. Sikat gigi plastik merupakan salah satu produk perawatan gigi yang paling umum digunakan oleh masyarakat. Di balik manfaatnya, terdapat permasalahan besar terkait limbah yang ditimbulkan oleh sikat gigi plastik sekali pakai. Menurut penelitian Mascitti dan D’Angelo (2023), setiap tahun lebih dari 3,5 miliar sikat gigi plastik dibeli di seluruh dunia, dan sebagian besar limbahnya dibuang serta tidak dapat terurai secara alami dalam waktu singkat.Sebagian besar sikat gigi plastik yang dibuang berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari lautan, mengancam keberlangsungan ekosistem baik laut dan darat. Menurut Aisha (2023), sekitar 14% dari total sampah merupakan sampah plastik yang mana salah satu sumber sampah plastik tersebut berasal dari produk-produk pribadi, termasuk sikat gigi. Plastik yang digunakan dalam pembuatan sikat gigi biasanya berasal dari polipropilena dan nilon, yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai secara alami. Akibatnya, sampah sikat gigi plastik menjadi ancaman yang nyata bagi lingkungan, terutama karena ukurannya yang cukup kecil dan sulit untuk didaur ulang.


Jejak karbon yang berlebih juga dapat dipicu oleh pengelolaan sumber daya air yang kurang komprehensif. Permasalahan air bersih menjadi salah satu perkara yang paling sering dibahas ketika berbicara tentang dampak lingkungan dari industri kedokteran gigi (Hashemizadeh, A., 2024). Banyak yang tidak menyadari bahwa kebiasaan sederhana seperti berkumur atau menyikat gigi dapat menyebabkan konsumsi air yang berlebihan. Seorang individu dapat menghabiskan 5-7 liter air hanya dalam satu kali menyikat gigi jika keran dibiarkan mengalir. Jika hal tersebut dihitung secara global, miliaran liter air terbuang setiap hari dari adanya kebiasaan menyikat gigi yang tidak efisien. Di Indonesia, pemakaian air rata-rata rumah tangga di perkotaan di Indonesia sebesar 144 liter per harinya, dengan sebagian besar air digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci, termasuk dalam perawatan gigi (Wicaksono, 2023).


Bahan medis konvensional dalam produksinya juga memiliki konsekuensi jejak karbon yang sangat tinggi. Penggunaan bahan yang lebih alami sangat didorong untuk mewujudkan industri kesehatan dengan energi bersih. Melimpahnya bahan-bahan alami di Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan produk-produk kesehatan gigi berbasis herbal yang lebih ramah lingkungan dan dapat menggantikan produk dental berbahan kimia yang dapat mencemari lingkungan. Pemanfaatan bahan-bahan alami dalam perawatan gigi tidak hanya membantu mengurangi limbah plastik, tetapi juga mendukung prinsip Green Dentistry, yaitu praktik kedokteran gigi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.


Konsep Green Dentistry atau kedokteran gigi hijau dan berkelanjutan masih tergolong baru dan belum banyak dikenal oleh masyarakat umum. Green Dentistry mengacu pada praktik kedokteran gigi yang lebih ramah lingkungan dengan cara mengurangi limbah, menghemat energi, dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan (Salim dan Asia, 2021). Meskipun banyak negara maju mulai mengadopsi konsep ini, kesadaran akan pentingnya Green Dentistry masih rendah di negara berkembang, termasuk Indonesia.


Menurut Survei Kesehatan Gigi Nasional Indonesia (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun 2018, sekitar 57,6% penduduk Indonesia mengalami masalah gigi dan mulut, tetapi hanya 10,2% yang mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan gigi (Rahmah et al., 2022). Salah satu alasan rendahnya angka kunjungan ini adalah kurangnya edukasi tentang pentingnya kesehatan gigi dan cara-cara perawatan yang lebih berkelanjutan. Di sisi lain, berdasarkan penelitian Khanna dan Dhaimade (2019), hanya 30% dokter gigi di dunia yang secara aktif menerapkan prinsip Green Dentistry dalam praktik mereka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran, keterbatasan akses terhadap produk dental ramah lingkungan, serta minimnya regulasi yang mendorong praktik kedokteran gigi berkelanjutan. Di Indonesia, kesadaran tentang Green Dentistry masih sangat rendah. Banyak masyarakat yang masih menggunakan produk dental berbahan plastik dan belum mempertimbangkan dampak lingkungan dari kebiasaan kebersihan gigi mereka. Selain itu, penggunaan bahan-bahan alami dalam perawatan gigi masih terbatas, meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan produk herbal untuk kesehatan gigi. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, perlu dilakukan berbagai upaya edukasi melalui media sosial, seminar kesehatan, serta integrasi konsep Green Dentistry dalam kurikulum pendidikan kedokteran gigi.


Praktik kedokteran gigi secara tidak langsung berkontribusi terhadap jejak karbon negara melalui konsumsi energi, konsumsi air, produk sekali pakai, dan limbah medis yang dihasilkan setiap hari. Proses sehari-hari seperti sterilisasi instrumen, radiografi tradisional, dan kebutuhan daya untuk menyalakan kursi gigi modern, jika digabungkan secara nasional, berkontribusi signifikan terhadap emisi. Jejak karbon sektor kedokteran gigi menunjukkan variasi antar negara dan jenis layanan. Di Mesir, klinik gigi swasta menghasilkan rata-rata 14.400 kg CO₂e per tahun (4 kg CO₂e per kunjungan pasien), dengan kontribusi utama berasal dari perjalanan pasien, perjalanan staf, energi, pengadaan, limbah, dan air. Laboratorium gigi swasta di negara yang sama menyumbang sekitar 20.800 kg CO₂e per tahun (2 kg CO₂e per protesa/alat gigi), didominasi oleh perjalanan staf dan pengadaan. Di Inggris, layanan kedokteran gigi NHS diperkirakan menghasilkan 675 kiloton CO₂e per tahun, terutama dari perjalanan, pengadaan, dan energi. Sementara itu, layanan kedokteran gigi NHS di Skotlandia mencatat emisi sekitar 1.800 ton CO₂e per tahun, dengan kontribusi terbesar dari perjalanan, pengadaan, dan energi bangunan (Elwan, A., 2025). Regulasi memainkan peran penting dalam mendorong transisi menuju kedokteran gigi hijau, sebuah paradigma praktik kedokteran gigi yang tidak hanya menjamin kesehatan pasien tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan ekologis (Duane, B., 2020).


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, sampai kolegium bidang ilmu memainkan peran sentral dalam perumusan regulasi untuk menduduk transisi kedokteran gigi hijau, kerangka regulasi dapat mencakup penetapan standar klinik gigi hijau yang mewajibkan efisiensi energi, teknologi hemat air, dan keberlanjutan pengolahan limbah medis. Contohnya termasuk penggunaan wajib pemisah amalgam untuk mencegah keracunan merkuri, audit jejak karbon tahunan untuk memantau emisi, dan larangan bahan kimia berbahaya. Di luar standar teknis, pelaksana regulasi juga dapat memberikan insentif, termasuk hibah atau kredit pajak bagi klinik yang beralih ke peralatan berlabel ekologis, sehingga kepatuhan tersebut dihargai dengan manfaat dan mendorong inovasi di kalangan dokter gigi. Pelatihan bagi staf kesehatan gigi juga dapat meningkatkan pengetahuan dan kepercayaan diri dalam pengelolaan limbah yang tepat, yang pada akhirnya meningkatkan kesadaran lingkungan dan mengurangi jejak karbon (Carr, E., 2025).


Keberhasilan undang-undang semacam itu di Indonesia juga bergantung pada struktur pendukung jangka panjang, misalnya, mengintegrasikan topik keberlanjutan ke dalam kurikulum Fakultas Kedokteran Gigi dan mengintegrasikan indikator perawatan kesehatan hijau ke dalam sistem akreditasi klinik gigi dan rumah sakit. Dengan peta jalan yang jelas menuju layanan kesehatan bersih, praktik kedokteran gigi dapat menjadi kontribusi kunci bagi target pengurangan emisi di sektor kesehatan. Terakhir, pengendalian jejak karbon dokter gigi tidak boleh dipandang sebagai mandat administratif, tetapi sebagai komponen vital dari upaya global untuk menyeimbangkan kesehatan manusia dan perlindungan lingkungan sehingga memerlukan dukungan semua pihak (Martin, N., 2021).

Regulasi jejak karbon kedokteran gigi di Indonesia membutuhkan sinergi yang erat antara kebijakan yang disusun dengan baik dan pelaksanaannya dalam praktik. Regulasi yang jelas, seperti standar klinik gigi hijau, audit emisi wajib, dan pengelolaan limbah medis berkelanjutan, memberikan landasan bagi penyelarasan praktik kedokteran gigi dengan konsep kedokteran gigi hijau. Pelaksanaannya harus didukung oleh insentif, integrasi ke dalam kurikulum sekolah kedokteran gigi, dan penyisipan metrik keberlanjutan ke dalam sistem akreditasi. Melalui kegiatan-kegiatan ini, kedokteran gigi tidak hanya membantu meningkatkan kesehatan masyarakat tetapi juga berperan aktif dalam agenda global untuk mengurangi emisi dan memastikan keberlanjutan lingkungan.


Penulis: Belva Nasywan Widyantara


Daftar Pustaka


  1. Aisha, N. W. (2023). Pengaruh Bank Sampah Terhadap Jumlah Sampah Plastik di Indonesia.
  2. Carr, E., Mamurekli, S., & Murphy, L. (2025). How staff training can improve perceptions and knowledge on waste management in dentistry.. Journal of the Irish Dental Association. https://doi.org/10.58541/001c.133637.
  3. CONFERENCE 2023 Half-way Through Agenda 2030: Assessing the 5Ps of SDGs (People, Planet, Prosperity, Peace, and Partnership) (pp. 388-397). Faculty of Law, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
  4. Duane, B., Stancliffe, R., Miller, F., Sherman, J., & Pasdeki-Clewer, E. (2020). Sustainability in Dentistry: A Multifaceted Approach Needed. Journal of Dental Research, 99, 1003- 998. https://doi.org/10.1177/0022034520919391.
  5. Elwan, A., Tantawi, M., & Fouda, A. (2025). Carbon footprint of private dental clinics in Egypt: a cross-sectional study. BMC Oral Health, 25. https://doi.org/10.1186/s12903-024-05413-0.
  6. Hashemizadeh, A., Lyne, A., & Liddicott, M. (2024). Reducing single-use plastics in dental practice: a quality improvement project.. British dental journal, 237 6, 483-486 . https://doi.org/10.1038/s41415-024-7836-3.
  7. Jurnal Alternatif-Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 14(1).
  8. Khanna, S. S., & Dhaimade, P. A. (2019). Green dentistry: a systematic review of ecological dental practices. Environment, Development and Sustainability, 21, 2599-2618.
  9. Martin, N., Sheppard, M., Gorasia, G., Arora, P., Cooper, M., & Mulligan, S. (2021). Awareness and Barriers to Sustainable Dental Practice - A Scoping Literature Review:
  10. Mascitti, J., & D'Angelo, A. (2023). Sustainable design of a plastic toothbrush: a case study of design for disassembling and materials recycling. In 29TH INTERNATIONAL SUSTAINABLE DEVELOPMENT RESEARCH SOCIETY (ISDRS)
  11. Rahmadi, M. H. (2023). Pelayanan Publik Digital Sebelum dan Setelah Pandemi COVID-19 di Indonesia. Petanda: Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Humaniora, 6(1), 30-43.
  12. Salim, R. C., & Asia, A. (2021). Gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti tentang konsep green dentistry: kajian pada mahasiswa program studi pendidikan dokter gigi semester 7 (laporan penelitian). Jurnal Kedokteran Gigi Terpadu, 3(1).
  13. Sustainable Dental Practice: Awareness and barriers.. Journal of dentistry, 103735 . https://doi.org/10.1016/j.jdent.2021.103735.
  14. Wicaksono, A. W. (2023, August). Analisa Pemanenan Air Hujan pada Skala Rumahan Sebagai Implementasi Konstruksi Bangunan Hijau dan Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim. In Proceeding Technology of Renewable Energy and Development Conference (Vol. 3, No. 1).