Articles

Green Inclusive: Mewujudkan Peluang Green Jobs yang Inklusif dan Adil

Green jobs kerap digambarkan sebagai jalan keluar dari krisis iklim sekaligus solusi bagi pengangguran. Harapan besar sudah ditumpukan pada transisi hijau, namun pertanyaannya apakah semua orang akan mendapat kesempatan yang sama. Hijau aja belum cukup lho, transisi juga harus adil. Yuk baca lebih jauh dan renungkan siapa yang sebenarnya ikut punya tempat dalam masa depan hijau! 🌱

Dunia sedang bergerak menuju ekonomi baru yang menjanjikan: ekonomi hijau. Krisis iklim, pandemi, dan ketimpangan sosial yang semakin terasa menjadi momentum untuk mendesain ulang arah pembangunan global. Dalam kerangka ini, masa depan kerja pun mulai berubah wajah. Kita sedang menyongsong masa depan kerja yang disebut-sebut akan berwarna hijau, lebih ramah lingkungan, berkelanjutan, dan menjanjikan pertumbuhan ekonomi baru.


Green jobs, istilah yang semakin populer dalam diskursus global, digadang-gadang sebagai kunci mengatasi pengangguran, memperkuat ketahanan ekonomi, sekaligus memperbaiki relasi antara manusia dan alam. Harapan besar ditumpukan pada transisi ini, bahwa ekonomi hijau akan membawa solusi, bukan hanya bagi bumi yang sakit, tetapi juga bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh sistem lama. Namun, di tengah gegap gempita itu, ada satu pertanyaan krusial yang jarang dibahas secara jujur, apakah semua orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi bagian dari transisi hijau ini? Apakah penyandang disabilitas, masyarakat adat, komunitas miskin kota, dan para pekerja informal juga mendapat tempat di dunia kerja masa depan ini, atau justru kembali tertinggal oleh gelombang inovasi dan kebijakan yang tidak menyentuh realitas mereka? Jangan-jangan, green jobs hanya menjadi wajah baru dari sistem kerja yang tetap eksklusif lebih hijau, tapi tidak lebih adil?


Laporan dari International Labour Organization (ILO, 2023) menyebut bahwa peralihan menuju ekonomi hijau dapat menciptakan hingga 24 juta pekerjaan baru secara global pada 2030. Sektor energi terbarukan, pengelolaan limbah, transportasi berkelanjutan, dan pertanian organik adalah sebagian contoh bidang yang akan tumbuh pesat. Namun, laporan tersebut juga menyatakan bahwa manfaat transisi ini bisa tidak merata jika tidak dirancang secara inklusif. Kelompok yang sudah termarjinalkan dalam ekonomi konvensional berisiko semakin tertinggal dalam ekonomi hijau jika tidak ada intervensi yang jelas.


Di Indonesia, difabel masih menghadapi diskriminasi dalam rekrutmen formal, dan lebih dari 80% dari mereka berada di sektor informal dengan penghasilan tidak tetap (Bappenas, 2021). Di sisi lain, komunitas adat yang selama ini menjaga kelestarian hutan justru sering diabaikan dalam proyek restorasi atau konservasi yang dilakukan oleh pihak eksternal. Ini menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau belum otomatis adil bagi semua kalangan.


Opini ini berangkat dari keyakinan bahwa transisi hijau tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial. Jika kita ingin ekonomi hijau bukan sekadar perubahan arah pasar, tetapi juga transformasi masyarakat, maka inklusivitas dalam sistem kerja hijau menjadi kunci. Dalam konteks ini, pertanyaan pentingnya bukan hanya “berapa banyak green jobs yang tercipta,” melainkan “siapa yang berhak mendapatkan kesempatan itu?”


  1. Redefinisi Kompetensi: Dari Sertifikasi ke Pengakuan Sosial


Saat ini, definisi kompetensi dalam green jobs sangat terpaku pada jalur formal: pendidikan tinggi, sertifikasi profesi, dan pengalaman di industri. Hal ini menciptakan eksklusi struktural terhadap kelompok yang tidak punya akses terhadap pendidikan formal, padahal mereka punya pengalaman hidup yang sangat relevan. Misalnya, masyarakat adat yang selama ratusan tahun menjaga hutan, mengelola sumber daya air secara lestari, dan menjalankan pertanian ramah lingkungan. Namun, ketika proyek restorasi hutan datang dari luar, peran mereka dikesampingkan karena “tidak memiliki sertifikasi kehutanan” atau “tidak memenuhi standar proyek donor.” Padahal, keahlian mereka adalah hasil interaksi langsung dan terus-menerus dengan alam. Inilah bentuk kolonialisasi pengetahuan yang sering tidak kita sadari.

Maka, perlu ada sistem rekognisi pembelajaran non-formal yang memungkinkan masyarakat adat, petani kecil, dan penggiat lingkungan lokal mendapatkan legitimasi atas keahlian mereka. Bentuknya bisa berupa micro-credential, sertifikasi komunitas, atau lisensi berbasis proyek yang dikeluarkan oleh lembaga pelatihan masyarakat. Dengan begitu, akses mereka terhadap peluang kerja hijau tidak lagi dibatasi oleh kertas dan gelar, tetapi dibuka oleh nilai pengalaman dan kontribusi nyata.


2. Difabel dalam Dunia Kerja Hijau: Potensi yang Sering Tak Terlihat

Isu disabilitas dalam ekonomi hijau adalah salah satu bagian yang paling kerap terabaikan dalam diskursus keberlanjutan. Padahal, di balik minimnya representasi dalam statistik tenaga kerja hijau, terdapat ribuan penyandang disabilitas yang memiliki keterampilan, kapasitas adaptif, serta motivasi tinggi untuk berkontribusi. Sayangnya, mereka dihadang oleh berlapis-lapis hambatan structural, mulai dari fasilitas pelatihan yang tidak dirancang ramah difabel, kurikulum yang seragam tanpa opsi adaptasi kebutuhan khusus, hingga sistem rekrutmen kerja yang bias terhadap kecepatan fisik dan standar produksi seragam. Bahkan dalam banyak proyek keberlanjutan yang mengusung jargon keadilan sosial dan transisi inklusif, isu disabilitas masih kerap diperlakukan sekadar sebagai catatan kaki, ditempatkan di ranah tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), bukan sebagai bagian dari inti strategi pembangunan hijau.

Padahal, jika disusun dengan prinsip inklusi sejak perencanaan awal, banyak green jobs yang sebenarnya sangat sesuai dengan potensi dan kebutuhan kerja penyandang disabilitas. Bidang pengelolaan data lingkungan, misalnya, seperti pengkodean untuk sistem pemantauan cuaca, peringatan bencana dini, atau pencatatan karbon, merupakan ruang kerja digital yang dapat dijalankan secara fleksibel dan sangat cocok bagi difabel sensorik dan motorik. Begitu pula dengan produksi kerajinan daur ulang, limbah plastik atau tekstil upcycled, yang bisa dilakukan dalam format kerja rumahan dengan jam kerja yang disesuaikan kemampuan individu.


Namun semua peluang itu hanya bisa dimanfaatkan bila ekosistemnya memang sejak awal dirancang untuk terbuka. Materi pelatihan harus dapat diakses dalam berbagai bentuk dari visual untuk tunarungu, taktil dan suara untuk tunanetra, hingga simulasi langsung bagi difabel kognitif. Ruang kerja fisik pun harus inklusif secara arsitektur dan teknologi, menyediakan akses kursi roda, perangkat lunak pembaca layar, serta sistem kerja yang memungkinkan kerja kolaboratif tanpa mengutamakan kecepatan sebagai ukuran utama. Bahkan sistem penilaian kompetensi juga perlu disesuaikan tidak hanya mengukur efektivitas produksi, tetapi juga presisi, daya tahan, dan ketekunan.


Di sinilah negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator, melainkan fasilitator transisi. Pemerintah dapat mendorong industri hijau yang ramah difabel melalui pemberian insentif, misalnya potongan pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas, skema subsidi pelatihan adaptif, atau pendanaan inkubator bisnis sosial yang berbasis komunitas difabel. Namun lebih dari sekadar insentif ekonomi, yang kita perlukan adalah perubahan paradigma, dari melihat difabel sebagai beban yang harus ditampung, menjadi aktor yang layak dipercaya dalam membangun masa depan hijau yang adil. Dalam konteks inilah, ekonomi hijau yang kita bangun seharusnya tidak hanya berbicara tentang efisiensi dan energi bersih, tetapi juga tentang siapa yang dilibatkan, siapa yang diberi ruang, dan siapa yang akhirnya ikut memiliki masa depan itu.


3. Pemberdayaan Komunitas Marginal: Dari Pinggir ke Jantung Ekonomi Hijau

Banyak komunitas miskin kota, pekerja informal, dan buruh sektor tak terlindungi yang sesungguhnya telah menjalankan praktik-praktik ramah lingkungan jauh sebelum istilah green economy menjadi populer. Para pemulung yang setiap hari memilah dan mengelola sampah, petani urban yang menanam sayur di sela gang sempit permukiman padat, hingga ibu-ibu rumah tangga yang secara konsisten membuat kompos dari limbah dapur, semuanya telah berkontribusi pada praktik berkelanjutan di tingkat akar rumput. Namun sayangnya, kerja-kerja ini kerap kali tidak dianggap sebagai bagian dari green workforce. Mereka lebih sering diposisikan sebagai pelaku subsisten sekadar bertahan hidup, bukan sebagai agen perubahan yang relevan dalam arah pembangunan masa depan.

Inilah ironi besar dalam transisi hijau, pekerjaan yang paling dekat dengan praktik keberlanjutan justru tidak mendapatkan perlindungan hukum, pengakuan formal, maupun insentif ekonomi. Padahal, jika kegiatan-kegiatan ini difasilitasi dengan baik, didukung teknologi tepat guna, serta mendapat akses pasar dan pelatihan, mereka bisa menjadi motor utama ekonomi sirkular di tingkat lokal.


Pemerintah daerah seharusnya mampu memfasilitasi tumbuhnya model-model usaha lingkungan berbasis komunitas ini melalui berbagai skema dukungan konkret. Yang perlu diubah bukan hanya struktur ekonominya, tetapi juga cara pandang kita terhadap siapa yang dianggap layak disebut sebagai pelaku ekonomi hijau. Ekonomi masa depan tidak boleh dibangun hanya oleh mereka yang sudah kuat secara modal dan koneksi, tetapi juga oleh mereka yang selama ini menjaga keberlanjutan dengan cara paling sederhana dan konsisten, dari lorong gang, dari dapur rumah, dari lapisan sosial yang kerap kali luput dari perhatian.


4. Green Policy yang Partisipatif dan Responsif

Bicara keadilan sosial dalam green jobs juga tak bisa dilepaskan dari cara negara menyusun kebijakan. Selama ini, banyak kebijakan transisi hijau bersifat top-down, disusun di ruang kantor yang steril dari kenyataan lapangan. Akibatnya, kebijakan tersebut kerap kali tidak responsif terhadap keragaman kebutuhan masyarakat. Padahal, kebijakan yang benar-benar inklusif harus dirancang bersama. Selain itu, perlu disediakan ruang partisipasi yang bermakna dalam penyusunan roadmap ekonomi hijau, yang melibatkan pemangku kepentingan lokal dalam proses audit keberlanjutan dan penilaian dampak sosial-lingkungan juga menjadi langkah penting agar implementasi kebijakan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan potensi masyarakat di tingkat akar rumput. Transisi hijau harus menjadi proses sosial, bukan semata transformasi teknologi. Ini berarti mendengar suara yang selama ini dibungkam, mengangkat peran yang selama ini dikerdilkan, dan memberi peluang kepada mereka yang selama ini berada di pinggiran untuk tampil di tengah panggung pembangunan.

Green jobs yang sejati adalah pekerjaan yang tidak hanya menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan, tetapi juga memastikan tidak ada satu pun manusia, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan, yang tertinggal dalam proses transisinya.


Penulis: Sabila Destriyanti


Daftar Pustaka:


  1. International Labour Organization (ILO). (2023). World Employment and Social Outlook 2023: Green Jobs for a Just Transition. Geneva: ILO.
  2. Lang, R. and Upadhyay, P. (2021). “Disability and Sustainable Employment: Bridging Gaps in Green Economies.” Inclusive Work Journal, 8(2), pp. 120–135.
  3. Rahmawati, N. (2022). “Inklusivitas dalam Transisi Hijau: Studi Kasus Komunitas Daur Ulang Difabel di Jawa Barat.” Jurnal Sosial Lingkungan, 5(1), pp. 45–62.
  4. UNDP. (2022). Human Development Report: Uncertain Times, Unsettled Lives. New York: United Nations Development Programme.
  5. Yuliani, E. and Sudarmo, H. (2020). “Kearifan Lokal dan Ekonomi Hijau: Pembelajaran dari Masyarakat Adat di Kalimantan.” Jurnal Ekologi Sosial Indonesia, 6(2), pp. 87–101.