Articles

Ketidakadilan Greenwashing: Bagaimana Petani Kecil Menanggung Bebannya?

Greenwashing sering digunakan sebagai strategi pemasaran untuk membangun citra ramah lingkungan tanpa komitmen nyata terhadap keberlanjutan. Akibatnya, tidak hanya konsumen yang tertipu, tetapi juga petani kecil yang harus menanggung dampaknya—dari harga jual yang ditekan hingga eksploitasi tenaga kerja.

Di era kesadaran lingkungan yang meningkat, perusahaan berlomba-lomba menampilkan label hijau dalam produknya. Namun, banyak klaim ini tidak lebih dari ilusi pemasaran yang merugikan petani kecil. Mereka dipaksa beradaptasi dengan standar keberlanjutan palsu, sementara keuntungan besar tetap mengalir ke korporasi.


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai agenda untuk tahun 2030, dengan salah satu fokus utamanya adalah pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan berperan penting dalam memastikan ketahanan pangan dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan (Prastyanty, 2023).


Seiring meningkatnya kesadaran konsumen terhadap dampak pola konsumsi global, banyak industri agribisnis mulai menerapkan prinsip keberlanjutan dalam proses produksi mereka. Namun, tidak semua klaim keberlanjutan yang disampaikan benar adanya. Banyak perusahaan justru menggunakan strategi pemasaran greenwashing, yaitu menciptakan citra seolah-olah produk mereka ramah lingkungan, padahal kenyataannya tidak demikian.

Mengenal Greenwashing: Ilusi Ramah Lingkungan yang Menyesatkan


Greenwashing adalah praktik menyesatkan yang dilakukan perusahaan untuk membangun kesan ramah lingkungan tanpa komitmen nyata terhadap keberlanjutan. Dilansir dari Ibedrola (n.d.) Istilah ini berasal dari kata "green" (hijau) dan "whitewashing" (menutupi kesalahan).


"Saya melihat greenwashing sebagai cara perusahaan memanfaatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan demi keuntungan bisnis. Banyak perusahaan menggunakannya untuk meningkatkan citra merek dan menarik konsumen, tanpa benar-benar menerapkan prinsip keberlanjutan. Dengan klaim ramah lingkungan, mereka dapat menekan biaya produksi, membedakan diri dari pesaing, dan menghindari regulasi ketat. Alih-alih melakukan perubahan nyata, mereka lebih memilih strategi murah yang hanya menciptakan ilusi kepedulian terhadap lingkungan."


Greenwashing dalam Agribisnis dan Pangan


Dalam agribisnis dan pangan, praktik greenwashing sering digunakan untuk mempromosikan produk seolah-olah organik atau berkelanjutan, padahal tidak benar-benar memenuhi standar yang seharusnya.


"Menurut saya, ada beberapa indikasi yang dapat mengungkap bahwa suatu perusahaan melakukan praktik ini. Salah satu taktik yang umum digunakan adalah klaim berlebihan, seperti mencantumkan label “alami” atau “organik” tanpa disertai bukti yang valid."


Beberapa perusahaan juga hanya menyoroti satu aspek kecil yang tampak ramah lingkungan, sementara mengabaikan dampak negatif lainnya yang lebih besar. Selain itu, penggunaan label hijau palsu—yakni simbol atau sertifikasi lingkungan tanpa dasar yang jelas—menjadi cara lain untuk mengelabui konsumen. Tidak jarang, perusahaan juga mengalihkan perhatian publik dari isu lingkungan yang lebih serius dengan melakukan kegiatan CSR yang bersifat simbolis. Bahkan, beberapa perusahaan membeli kredit karbon atau sertifikasi tertentu sebagai upaya menyamarkan jejak emisi dan dampak buruk yang mereka hasilkan.


Salah satu kasus greenwashing industri makanan diungkap dalam penelitian Prameswari (2024), yang menemukan bahwa Perfetti Van Melle mengklaim kemasan baru permen Mentos terbuat dari karton ramah lingkungan. Padahal, faktanya kemasan tersebut sulit didaur ulang karena masih mengandung campuran bahan yang tidak sepenuhnya ramah lingkungan.


Industri tembakau di Indonesia juga menjadi sorotan. Menurut studi Rato (2024) laporan keberlanjutan beberapa perusahaan besar tembakau berpotensi mengandung unsur greenwashing. Meskipun mereka menampilkan komitmen terhadap lingkungan melalui program CSR, transparansi terkait data emisi karbon dalam proses manufaktur serta risiko kesehatan akibat produk mereka masih minim. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada banyak aspek yang sengaja ditutupi oleh perusahaan.


"Saya mengamati bahwa dampak dari fenomena greenwashing tidak hanya menyesatkan konsumen dan menghambat upaya nyata menuju pembangunan berkelanjutan, tetapi juga merugikan para petani kecil yang terlibat dalam rantai pasok. Ketika perusahaan lebih berfokus pada pencitraan daripada perubahan nyata, petani sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan akibat praktik bisnis yang tidak adil."


Kasus-Kasus Perusahaan yang Melakukan Greenwashing dan Merugikan Petani

Greenwashing dalam agribisnis tidak hanya terjadi dalam industri makanan olahan, tetapi juga dalam sektor komoditas seperti kelapa sawit dan kapas. Berikut adalah beberapa kasus yang menunjukkan bagaimana praktik ini merugikan petani kecil:


  1. Industri Kelapa Sawit: Janji Keberlanjutan vs Eksploitasi Petani


Banyak perusahaan kelapa sawit mengklaim menerapkan praktik berkelanjutan, tetapi kenyataannya, ekspansi perkebunan mereka justru merusak lingkungan dan merugikan petani kecil. Penelitian Abidin (2023) menunjukkan bahwa antara tahun 2001 hingga 2016, sekitar 40% dari deforestasi di Indonesia terjadi di konsesi perkebunan sawit yang bersertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), yang seharusnya menjamin keberlanjutan.

Masalah lain yang tak kalah serius adalah eksploitasi tenaga kerja. Fatima (2024) mengungkapkan bahwa banyak pekerja, termasuk perempuan dan anak-anak, bekerja dalam kondisi berbahaya dengan upah di bawah standar. Konflik lahan pun kerap terjadi, di mana petani kecil dan komunitas adat kehilangan akses terhadap tanah mereka.


Serikat Petani Kelapa Sawit (2025) mengkritik skema kemitraan di perkebunan kelapa sawit, yang justru merugikan petani. Petani plasma yang terikat dalam sistem ini hanya memperoleh rata-rata Rp2,5 juta per hektar per tahun, jauh dari potensi keuntungan Rp22 juta per hektar yang didapatkan perusahaan perkebunan.


  1. Fast Fashion dan Pertanian Kapas: Ramah Lingkungan, Tapi Eksploitatif


Industri fast fashion berusaha membangun citra ramah lingkungan melalui kampanye hijau, seperti koleksi "Conscious" dari H&M atau teknologi LanzaTech dari Zara yang diklaim mengurangi emisi karbon. Namun laporan Ellen MacArthur Foundation (2017) mencatat bahwa industri ini menghasilkan 92 juta ton limbah tekstil per tahun, dengan kurang dari 1% yang didaur ulang.


Selain itu, pertanian kapas sebagai bahan baku utama juga berdampak besar, mulai dari penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang merusak ekosistem, hingga konsumsi air yang tinggi—hingga 20.000 liter per kilogram kapas, dan ironisnya banyak ditanam di negara yang memiliki kelangkaan air (WWF, 2013).


Di sisi sosial, petani kapas sering kali menghadapi eksploitasi. Misalnya, petani kapas fair trade di India masih berjuang dengan pasar terbatas, ketidakpastian pendapatan, dan biaya sertifikasi tinggi, yang menghambat kesejahteraan mereka (Ardiantari, 2024). Sementara itu, di Uzbekistan terdapat banyak petani kapas yang bekerja dalam kondisi buruk dengan upah rendah (EJF, 2005). Meski ada upaya menghapus kerja paksa, praktik eksploitasi masih ditemukan di beberapa daerah.


Dampak Langsung bagi Petani Kecil


  1. Ketimpangan Harga dan Pendapat


Petani kecil semakin terhimpit oleh korporasi besar yang menekan biaya produksi dan membangun citra “hijau.” Akibatnya, mereka terpaksa menjual hasil panen dengan harga rendah, jauh dari nilai yang seharusnya. Misalnya, harga sawit di tingkat petani kecil hanya Rp2.500/kg, sementara harga yang lebih layak nyaris tak bisa mereka dapatkan (Renaldi et al., 2024). Kesenjangan ini memperlebar jurang ekonomi dan mengancam keberlanjutan hidup petani kecil.


  1. Kerusakan Lingkungan yang Merugikan Petani


Alih-alih membantu petani, ekspansi korporasi justru merusak lingkungan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Deforestasi dan penggunaan pestisida berlebihan menyebabkan polusi tanah dan air, membuat lahan pertanian semakin sulit dikelola. Pemantauan di 57 lokasi sekitar Sungai Sambas—yang dikelilingi tiga industri sawit—menunjukkan bahwa 70% kualitas air berada di bawah standar akibat tingginya kadar klorin (Renaldi et al., 2024). Petani kecil menjadi korban pertama dari ekosistem yang tercemar, kehilangan produktivitas, dan semakin sulit bertahan.


  1. Ancaman terhadap Keberlanjutan Pertanian Lokal


Praktik pertanian tradisional yang lebih ramah lingkungan semakin terpinggirkan. Rotasi tanaman dan pupuk alami dianggap tidak memenuhi standar korporasi karena hasilnya lebih rendah. Studi Cruz et al (2023) mencatat bahwa pertanian organik menghasilkan 18,4% lebih sedikit dibanding metode konvensional, membuat petani terpaksa beralih ke metode intensif yang justru merusak ekosistem.


Program food estate di Papua, misalnya, mengubah hampir 2,7 juta hektare lahan gambut untuk pertanian modern, yang berisiko tinggi menganggu keseimbangan ekosistem (Elisabeth, 2021). Bukannya meningkatkan ketahanan pangan, pendekatan ini justru mengancam keberlanjutan pertanian lokal dan memperburuk krisis lingkungan.


Solusi dan Tindakan yang Bisa Dilakukan

"Menurut saya, konsumen berperan besar dalam menciptakan keberlanjutan dengan memilih produk yang benar-benar ramah lingkungan, bukan sekadar klaim (greenwashing)."


Kesadaran akan label seperti organik, fair trade, atau Rainforest Alliance, serta kebiasaan membaca label dan memilih produk berjejak karbon rendah, kemasan ramah lingkungan, dan produksi etis harus menjadi prioritas. Mendukung brand yang transparan dalam rantai pasoknya juga langkah kecil yang berdampak besar.


Namun, tanggung jawab ini tidak hanya di tangan konsumen. Regulasi ketat diperlukan untuk mencegah greenwashing, dengan standar yang jelas, sanksi tegas, dan audit independen agar klaim produk bisa dipercaya. Perusahaan juga harus lebih transparan dengan mempublikasikan data lingkungan dan sosial mereka.


Di sisi lain, fair trade yang transparan adalah kunci keadilan bagi petani kecil. Keuntungan harus sampai langsung ke mereka, bukan ke perantara. Pemberdayaan melalui teknologi dan pelatihan pertanian berkelanjutan akan meningkatkan kesejahteraan mereka, sementara koperasi dan jaringan pemasaran yang kuat akan memperbaiki posisi tawar mereka di pasar.


Fenomena greenwashing tidak hanya menjadi strategi pemasaran yang menyesatkan, tapi juga memperburuk ketimpangan dalam sistem pertanian. Petani kecil sering dirugikan, sementara korporasi besar yang diuntungkan. Untuk mengubah ini, kita butuh regulasi yang ketat, transparansi sertifikasi, dan kesadaran konsumen dalam memilih produk yang benar-benar berkelanjutan.


Dukungan nyata bisa dimulai dengan membeli langsung dari petani atau koperasi lokal. Selain membantu ekonomi mereka, ini juga mengurangi jejak karbon. Setiap pilihan kita berdampak—apakah mendukung petani kecil atau membiarkan mereka terjebak dalam sistem yang tidak adil?


Mari mulai dari hal sederhana: belanja di pasar petani, memilih produk dengan sertifikasi jelas, dan dukung kebijakan yang berpihak pada mereka. Dengan gerakan sosial yang mendukung produk lokal, kita bisa menciptakan perubahan nyata dan membangun sistem yang lebih adil dan berkelanjutan!


Penulis: Jihan Aulia Roziqin


SUMBER REFERENSI

  1. Abidin, J. Z. (2023). Tata kelola industri kelapa sawit berkelanjutan dalam mendukung ketahanan energi nasional. Journal of Agrosociology and Sustainability, 1(1), 59–74.
  2. Ardiantari, Y. (2024). Keterbatasan Pasar Bagi Petani Kapas Fair Trade di India. Indonesiana. https://www.indonesiana.id/read/173645/keterbatasan-pasar-bagi-petani-kapas-fair-trade-di-india
  3. Cruz, V. Y. V. de la, Tantriani, W. C., & Tawaraya, K. (2023). Yield gap between organic and conventional farming systems across climate types and sub-types: A meta-analysis. Agricultural Systems. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308521X23001373
  4. EJF. (2005). White Gold: the true cost of cotton. 1–48.
  5. Elisabeth, A. (2021). Walhi: Hutan dan Masyarakat Adat Papua Terancam Proyek Food Estate. Mongabay. https://www.mongabay.co.id/2021/08/03/walhi-hutan-dan-masyarakat-adat-papua-terancam-proyek-food-estate/
  6. Fatima, Setiawan, E., Renata, & Ramadhani, A. (2024). Strategi Pengelolaan Berkelanjutan Kelapa Sawit di Indonesia Sustainable Palm Oil Management Strategy in Indonesia. 26(4), 803–807.
  7. Foundation, E. M. (2017). A new textiles economy: Redesigning fashion’s future. https://www.ellenmacarthurfoundation.org/a-new-textiles-economy
  8. Iberdrola. (n.d.). Greenwashing or climate-washing: what is it and how to identify it? Diambil 20 Maret 2025, dari https://www.iberdrola.com/sustainability/greenwashing
  9. Prameswari, B. P., Lunardy, J., & Lias, S. A. (2024). Studi Kasus Greenwashing Perfetti Van Melle dari Sudut Pandang Etika Bisnis Belia Putri Prameswari, Jordy Lunardy, Sherly Ayli Lias Universitas Indonesia. 10(14), 334–337.
  10. Prastyanty, R. (2023). Tantangan Ketidaksetaraan Sosial Ekonomi Menuju Transformasi Sistem Pangan Berkelanjutan. 124–128.
  11. Rato, N. W. Da. (2024). SUSTAINABILITY REPORT INDUSTRI TEMBAKAU DI INDONESIA : PENERAPAN SASB STANDARDS DAN IMPLIKASINYA. 16(2), 302–321.
  12. Renaldi, A., Sala, D., & Baskoro, B. (2024). “Saya Menyemprot Racun”: Saat Petani Bertaruh Nyawa dengan Herbisida yang Menghancurkan Kalimantan. https://projectmultatuli.org/saya-menyemprot-racun-saat-petani-bertaruh-nyawa-dengan-herbisida-yang-menghancurkan-kalimantan/
  13. SPKS. (2025). PLASMA AKAL-AKALAN DEMI EKSPANSI SAWIT PERUSAHAAN “Banyak Konflik dan Rugikan Masyarakat.” https://spks.or.id/detail-sikap-plasma-akal-akalan-demi-ekspansi-sawit-perusahaan-banyak-konflik-dan-rugikan-masyarakat
  14. WWF. (2013). Cleaner, Greener Cotton: Impacts and Better Management Practices. https://wwfint.awsassets.panda.org/downloads/cotton_for_printing_summary_report.pdf