Articles
Visi ekonomi hijau Indonesia menjanjikan jutaan lapangan kerja dan pertumbuhan inklusif. Namun transisi ini tak akan berjalan tanpa tiga hal, yaitu kebijakan adaptif, SDM siap hijau, dan pasar yang mendukung. Pekerjaan hijau bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang literasi, keadilan, dan keberanian bertransformasi. Simak lebih dalam bagaimana Indonesia menapaki jalan menuju ekonomi hijau yang sesungguhnya.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan sebuah narasi besar yang ambisius, memosisikan ekonomi hijau bukan sekadar sebagai kebijakan lingkungan, melainkan sebagai fondasi transformasi ekonomi nasional. Narasi ini menjanjikan gelombang kemakmuran baru yang selaras dengan kelestarian alam, ditopang oleh penciptaan jutaan lapangan kerja yang disebut green jobs atau pekerjaan hijau. Visi ini menjadi bagian integral dari cetak biru jangka panjang negara, menandakan pergeseran fundamental dalam paradigma pembangunan (Nasri & Keindahan, 2024).
Di jantung strategi nasional, target kuantitatif yang jelas telah ditetapkan, memberikan gambaran konkret mengenai skala transformasi yang dicanangkan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas) memproyeksikan bahwa Indonesia akan mencapai 4 juta pekerjaan hijau pada akhir tahun 2025, angka yang setara dengan 2,7% dari total angkatan kerja nasional. Lebih jauh lagi, dalam skenario pertumbuhan tinggi, jumlah ini diperkirakan dapat melonjak hingga lebih dari 5,3 juta pekerjaan pada tahun 2029, atau 3,14% dari angkatan kerja. Potensi transisi bahkan lebih masif, dengan estimasi bahwa 56 juta pekerjaan yang ada saat ini memiliki kemungkinan untuk beralih menjadi peran hijau pada tahun 2025. Ambisi ini tidak berdiri sendiri. Ia tertanam kuat dalam kerangka visi nasional yang lebih besar, yaitu "Indonesia Emas 2045".
Dalam konteks ini, ekonomi hijau diposisikan sebagai salah satu "game changer" atau pengubah permainan utama yang esensial bagi Indonesia untuk keluar dari perangkap negara berpenghasilan menengah (middle-income trap) dan mencapai status negara maju. Prioritas ini secara eksplisit termaktub dalam dokumen perencanaan tertinggi negara, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Dengan demikian, pemerintah mengartikulasikan sebuah janji ganda. Di satu sisi, ekonomi hijau diharapkan mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata hingga 6,5% per tahun hingga 2050. Di sisi lain, pertumbuhan ini harus dicapai sambil secara simultan membantu Indonesia memenuhi komitmen iklimnya, yaitu mencapai Emisi Nol Bersih (Net Zero Emissions) pada tahun 2060 atau lebih cepat (Kementerian PPN/Bappenas, n.d.). Komunikasi strategis pemerintah secara sadar membingkai transisi ini bukan sebagai sebuah pilihan, melainkan sebagai sebuah keniscayaan sebuah pilar fundamental bagi identitas ekonomi Indonesia di masa depan yang identik dengan kemajuan, modernitas, dan kemakmuran berkelanjutan.
Istilah green jobs atau pekerjaan hijau merujuk pada pekerjaan yang berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan, dari energi terbarukan hingga pertanian organik, dari manajemen limbah hingga industri kreatif. International Labour Organization (ILO) menekankan bahwa pekerjaan hijau haruslah layak, ramah lingkungan, dan mendorong transisi berkeadilan. Di Indonesia, konsep ini tidak terbatas pada sektor baru, tetapi juga transformasi sektor lama misalnya pertanian, kehutanan, konstruksi, hingga pariwisata (Hadisumarto et al., 2025).
Pada 2025, pemerintah meluncurkan Green Workforce Roadmap sebagai pedoman strategis. Dokumen ini menggariskan enam strategi: definisi konseptual, pemetaan ekosistem, peningkatan kesadaran publik, penyusunan regulasi, kemitraan strategis, serta penguatan lembaga dan manajemen pengetahuan. Tujuannya jelas: menyiapkan SDM, menarik investasi, dan memastikan transisi hijau berjalan mulus. Akan tetapi, di balik kertas strategi yang indah, terdapat jurang regulasi. Kebijakan hijau masih bersifat umum dan terfragmentasi, belum terintegrasi dalam satu payung hukum yang kuat. Tanpa dasar hukum yang kokoh, roadmap berisiko menjadi macan kertas.
Tantangan Sistemik
Pertama, kesenjangan keterampilan. Sistem pendidikan vokasi (TVET) belum siap melahirkan tenaga kerja dengan keterampilan hijau. Padahal, industri menuntut kombinasi hard skills (teknologi energi, pertanian presisi, ekonomi sirkular) dan soft skills (kolaborasi, kepemimpinan, kesadaran lingkungan). Kedua, pendanaan yang tersendat. Proyek hijau, terutama di energi terbarukan, sangat bergantung pada investasi internasional. Namun program seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) lamban mencairkan dana, sehingga proyek terhambat, lapangan kerja pun terbatas. Ketiga, pasar domestik yang lemah. Konsumen masih enggan membayar lebih untuk produk ramah lingkungan. Di sisi lain, kaum muda, yang menjadi target utama pekerjaan hijau, sering menganggap pekerjaan hijau bergaji rendah dan prospeknya suram. Keempat, pemerintah pusat memegang kendali hampir penuh, sementara daerah, komunitas lokal, dan sektor swasta kurang terlibat. Padahal, tanpa partisipasi mereka, transisi hijau sulit benar-benar adil dan inklusif, sehingga ini dapat dilihat sebagai pendekatan top-down yang kaku (Nasri & Keindahan, 2024).
Inovasi di Tengah Tantangan
Meski dihimpit hambatan struktural, wajah nyata pekerjaan hijau mulai bermunculan. Pertanian tradisional kini bertransformasi lewat ecotechnofarming dan teknologi presisi yang melahirkan profesi baru, dari analis data hingga teknisi drone. Energi terbarukan menjanjikan masa depan, tetapi kasus panas bumi Dieng dan PLTA Poso mengingatkan bahwa proyek hijau sejati harus adil, bukan sekadar rendah emisi. Industri kreatif pun memberi warna, dari eco-fashion dan upcycling hingga desainer grafis yang menjadi jembatan komunikasi publik. Sementara itu, ekowisata berbasis komunitas, seperti di Nglanggeran dan Baluran, membuktikan pariwisata bisa menjadi sarana konservasi sekaligus sumber ekonomi. Semua inovasi ini menegaskan bahwa pekerjaan hijau bukan lagi wacana, melainkan kenyataan yang tumbuh di akar rumput asal transisi hijau dijalankan secara adil, inklusif, dan berpihak pada manusia serta lingkungan.
Literasi: Mesin Penggerak yang Terabaikan
Di balik wacana kebijakan, teknologi, dan investasi, ada satu mesin penggerak yang kerap terabaikan, yaitu literasi. Transisi hijau tidak akan berhasil tanpa masyarakat yang paham dan cakap, sebab pekerjaan hijau hanya bisa tumbuh jika ada pasar dan dukungan publik yang kuat. Di sinilah pentingnya literasi ganda, lingkungan dan digital, sebagai prasyarat, bukan pelengkap. Literasi lingkungan menciptakan pasar dari kesadaran (Madina, 2023). Saat masyarakat memahami isu perubahan iklim, polusi plastik, atau hilangnya keanekaragaman hayati, mereka terdorong untuk memilih produk ramah lingkungan, mendukung ekowisata, dan bahkan berinvestasi pada instrumen hijau. Dengan begitu, kesadaran publik menjadi tarikan ekonomi yang mendorong perusahaan beralih ke praktik berkelanjutan dan membuka lebih banyak lapangan kerja hijau. Sementara itu, literasi digital menjawab “bagaimana” transisi hijau diwujudkan. UMKM desa dapat menembus pasar global lewat platform digital, perusahaan bisa menerapkan Green IT untuk efisiensi energi, dan masyarakat bisa menggunakan media digital untuk advokasi serta menuntut transparansi dalam proyek hijau. Singkatnya, digitalisasi memberdayakan ekonomi sekaligus memastikan keadilan dalam transisi. Oleh karena itu, investasi pada infrastruktur dan teknologi hijau tidak akan cukup jika tidak dibarengi dengan investasi pada literasi publik. Jika pemerintah serius membangun empat juta pekerjaan hijau, maka yang dibutuhkan bukan hanya Peta Jalan Tenaga Kerja Hijau, melainkan juga Peta Jalan Literasi Hijau yang berjalan beriringan.
Sinergi Tiga Pilar
Untuk melangkah maju, Indonesia perlu meninggalkan cara pandang transisi hijau sebagai sekadar pelaksanaan peta jalan yang kaku. Yang dibutuhkan adalah ekosistem hijau yang hidup, di mana kebijakan, manusia, dan pasar saling menguatkan. Keberhasilan pekerjaan hijau tidak cukup diukur dari kebijakan tunggal, melainkan dari sinergi ketiga pilar ini: Pertama, kebijakan adaptif. Pemerintah harus beralih dari pendekatan top-down menjadi tata kelola yang lebih luwes, partisipatif, dan berbasis konteks lokal. Kerangka hukum yang jelas dan terintegrasi harus segera hadir untuk memberi kepastian bagi investor sekaligus ruang bagi daerah dan komunitas untuk ikut merancang solusi (Rifa’i & Wandi, 2020). Kedua, modal manusia yang siap. Pendidikan dan pelatihan vokasi harus direformasi total, dengan kurikulum yang relevan terhadap kebutuhan industri hijau. Selain itu, program upskilling dan reskilling perlu diperluas agar pekerja lama tidak tertinggal dalam transisi. Ketiga, pasar yang dibentuk bersama. Permintaan produk dan jasa hijau tak bisa dibiarkan tumbuh alami; ia harus dirangsang lewat pengadaan pemerintah yang ramah lingkungan, kampanye edukasi publik, serta insentif bagi startup hijau dan para ecopreneur. Dengan sinergi tiga arah ini, transisi hijau tidak lagi sekadar janji di atas kertas, melainkan ekosistem dinamis yang mampu melahirkan jutaan pekerjaan hijau bagi Indonesia.
Empat juta pekerjaan hijau bukan sekadar target angka, melainkan sebuah ujian apakah Indonesia mampu menenun sinergi kebijakan, manusia, dan pasar menjadi ekosistem hijau yang benar-benar lestari.
Penulis: Mohan Meyer Raja Toguan Eteng Sitorus
Daftar Pustaka