Articles
Peluncuran IDXCarbon menandai babak baru ekonomi hijau Indonesia, petani tak lagi sekadar produsen pangan, tapi juga penjaga iklim. Di balik peluang besar itu, ada tantangan nyata, biaya MRV yang tinggi, kapasitas kelembagaan yang terbatas, dan risiko ketimpangan akses pasar. Kunci keberhasilannya ada pada satu hal, yaitu kebijakan yang benar-benar berpihak pada petani kecil.
Pak Budi, seorang petani di lereng Merapi, selama puluhan tahun hanya mengenal dua tantangan utama: ketidakpastian cuaca dan volatilitas harga tengkulak cabai. Namun, tahun ini ia mulai mempelajari musuh sekaligus kawan baru yang tak kasat mata yaitu karbon. Ia tidak lagi hanya menghitung berapa karung panen yang ia jual ke pasar, tetapi juga berapa ton karbondioksida (CO2) yang berhasil ia 'kubur' di dalam tanah ladangnya yang subur.
Kisah Pak Budi bukanlah anomali, melainkan representasi dari transformasi fundamental. Ia adalah wajah dari revolusi senyap yang akan mendefinisikan ulang arti menjadi petani di Indonesia. Peluncuran Bursa Karbon (Indonesia Stock Exchange Carbon atau disingkat IDX Carbon) pada September 2023 lalu telah secara resmi membuka gerbang bagi jutaan petani seperti Pak Budi untuk tidak lagi dipandang sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek utama dalam perekonomian hijau. Dengan demikian, tulisan ini berargumen bahwa pelibatan aktif petani di jantung pasar karbon bukan sekadar inovasi kebijakan, melainkan merupakan langkah strategis untuk mencapai kedaulatan pangan dan kedaulatan iklim secara simultan.
Untuk mewujudkan visi besar ini, kita harus terlebih dahulu membongkar kerapuhan arsitektur pertanian konvensional kita saat ini, kemudian mengadopsi paradigma regeneratif sebagai solusi, hingga akhirnya membangun rantai nilai green jobs baru yang berpusat di pedesaan. Jalan ini tidak mudah, dan navigasi kebijakan yang cerdas menjadi syarat mutlak keberhasilannya.
Landasan fundamental dari babak baru ini adalah peluncuran resmi Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 26 September 2023 (Otoritas Jasa Keuangan, 2023). Momentum ini secara definitif memformalkan nilai ekonomi dari jasa lingkungan dalam kerangka pasar nasional yang teregulasi. Lebih penting lagi, bursa ini pertama kalinya membuka gerbang bagi para petani untuk pertama mengonversi praktik pertanian berkelanjutan menjadi aset kredit karbon tersertifikasi yang sah diperdagangkan (Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon).
Langkah Pertama: Membongkar Kerapuhan Arsitektur Pertanian Kita
Faktanya arsitektur pertanian konvensional yang saat ini kita jalankan telah usang dan justru melanggengkan prekaritas ekonomi para petani. Kita terjebak dalam sebuah krisis senyap. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (AFOLU) adalah kontributor emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Di saat yang sama, para petani kecil yang notabene adalah tulang punggung produksi pangan nasional merupakan kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ketergantungan pada input kimia yang mahal telah menciptakan lingkaran setan: tanah menjadi 'sakit' dan kehilangan kapasitasnya untuk menahan air, produktivitas jangka panjang terancam, dan petani terperangkap dalam struktur biaya yang tinggi. Ini bukan lagi fondasi kedaulatan pangan, melainkan sebuah kerapuhan sistemik yang harus segera kita dekonstruksi (KLHK, 2024).
Langkah Kedua: Mengadopsi Paradigma Regeneratif sebagai Solusi
Pergeseran paradigma fundamental menuju pertanian regeneratif diajukan sebagai solusi utama. Pendekatan ini bukan sekadar teknik "hijau", melainkan sebuah strategi cerdas untuk membangun kembali modal alam yang paling berharga yaitu kesehatan tanah. Praktik seperti pertanian tanpa olah tanah, agroforestri, dan penggunaan pupuk organik terbukti mampu meningkatkan cadangan karbon tanah secara signifikan. Sebagai contoh, sistem agroforestri di perkebunan kopi Gayo atau integrasi budidaya ikan di sawah (sistem mina padi) adalah wujud nyata dari praktik yang dimaksud. Studi dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengonfirmasi bahwa praktik agroekologi tidak hanya meningkatkan sekuestrasi karbon, tetapi juga dapat menaikkan produktivitas lahan hingga 20-60% dalam jangka panjang, terutama di lahan terdegradasi. Dalam paradigma ini, lahan pertanian diposisikan sebagai ”rekening tabungan karbon”, di mana setiap praktik regeneratif adalah investasi cerdas untuk keuntungan ekologis dan ekonomis di masa depan.
Langkah Ketiga: Membangun Arsitektur Ekonomi untuk Monetisasi Jasa Iklim
Investasi ekologis pada "rekening tabungan karbon" sebagaimana diuraikan sebelumnya, menuntut adanya sebuah arsitektur ekonomi yang mampu mengonversi modal alam tersebut menjadi arus pendapatan konkret bagi petani. Di sinilah monetisasi jasa iklim melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) berperan bukan sekadar sebagai katalisator, melainkan sebagai infrastruktur pasar formal yang melembagakan nilai dari praktik regeneratif. Kehadiran bursa ini secara sistematis memicu terbentuknya rantai nilai karbon pertanian baru yang berpusat di pedesaan, sebuah ekosistem ekonomi untuk memanen nilai dari potensi pasar karbon yang diestimasi memiliki skala ekonomi masif, berpotensi menjadi salah satu pilar baru perekonomian nasional.
Rantai nilai ini melahirkan serangkaian profesi green jobs baru yang menjadi tulang punggung operasionalnya. Prosesnya dimulai dari tingkat lahan, di mana Konsultan Karbon Pertanian berperan mendampingi petani dalam transisi praktik untuk memaksimalkan serapan karbon. Selanjutnya, untuk menjamin integritas dan validitas, peran Verifikator Lapangan menjadi sentral dalam melakukan Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Measurement, Reporting, and Verification atau disingkat MRV) secara akurat. Mengingat skala kepemilikan lahan petani yang kecil, peran Manajer Agregator di tingkat koperasi atau BUMDes menjadi krusial untuk mengonsolidasikan kredit karbon dari banyak petani agar mencapai volume yang layak diperdagangkan di pasar.
Dengan demikian, arsitektur ini secara teoretis menyusun sebuah cetak biru yang ideal untuk desentralisasi ekonomi hijau, dengan memindahkan pusat aktivitas ekonomi dari perkotaan ke lahan-lahan pertanian di perdesaan. Namun, realisasi cetak biru ini sangat bergantung pada penguatan fondasi utamanya, khususnya pada proses verifikasi (MRV) yang padat modal dan peningkatan kapasitas kelembagaan agregator di tingkat tapak.
Langkah Keempat: Menavigasi Realitas dengan Kebijakan yang Berpihak
Optimisme terhadap potensi ekonomi karbon ini perlu diimbangi dengan realisme strategis. Tantangan terbesar yang diakui secara global adalah tingginya biaya Measurement, Reporting, and Verification (MRV) yang menjadi penghalang utama bagi petani kecil. Untuk mengatasi hal ini, peran negara menjadi krusial dalam menyediakan skema insentif serta melakukan simplifikasi proses MRV untuk proyek skala kecil. Tantangan berikutnya adalah kapasitas dan literasi teknis petani. Sebagai solusinya, kolaborasi antara universitas dan penyuluh lapangan harus diintensifkan untuk menciptakan program pendampingan yang terstruktur dan berkelanjutan. Terakhir, untuk mencegah risiko dominasi korporasi, regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus secara eksplisit dirancang untuk melindungi posisi tawar petani kecil dalam struktur agregator. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat sasaran dan berpihak, partisipasi petani dalam ekonomi hijau ini berisiko menjadi eksklusif dan tidak inklusif.
Tulisan ini telah mengemukakan argumen bahwa pelibatan petani secara aktif dalam pasar karbon merupakan langkah strategis untuk mencapai kedaulatan iklim dan pangan di Indonesia. Melalui paradigma pertanian regeneratif dan arsitektur pasar yang difasilitasi oleh IDXCarbon, petani dapat bertransformasi dari objek kebijakan menjadi subjek ekonomi hijau. Namun, realisasi visi ini menghadapi tantangan signifikan, terutama pada aspek biaya verifikasi (MRV), kapasitas kelembagaan di tingkat tapak, dan regulasi pasar yang berkeadilan. Oleh karena itu, keberhasilan agenda ini sangat bergantung pada intervensi kebijakan yang terencana untuk menyederhanakan proses MRV, memperkuat kapasitas agregator lokal seperti BUMDes, dan memastikan regulasi pasar melindungi kepentingan petani kecil. Penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk mengembangkan model MRV berbiaya rendah yang terverifikasi serta menganalisis skema insentif fiskal yang paling efektif untuk akselerasi adopsi praktik regeneratif di tingkat petani.
Penulis: Thomas Leonardo
DAFTAR PUSTAKA